Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 2)
Baca pembahasan sebelumnya Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 1)
Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Pendapat ulama terkuat dan alasan ilmiahnya
Wanita hamil dan menyusui, jika tidak puasa karena uzur syar’i hamil atau menyusui, maka wajib menunaikan fidiah saja. Sebagaimana hal ini kami sebutkan dalam pendapat ulama yang ketujuh pada artikel seri pertama.
Pendapat ini adalah pendapat terkuat dengan beberapa alasan ilmiah berikut ini:
Pertama, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 184 dengan tafsir dari pakar tafsir di kalangan sahabat, yang tafsirnya lebih diutamakan daripada ulama tafsir lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) menunaikan fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah: 184).
Banyak ulama menyatakan bahwa ayat ini adalah tentang pria dan wanita yang sudah lanjut usia, wanita hamil dan menyusui yang berat melaksanakan puasa Ramadhan, atau khawatir pada bayi dan janinnya.
Ini adalah pendapat ulama dikalangan sahabat, yaitu Ibnu Abbas, Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, dan pendapat ulama di kalangan tabi’in, yaitu Sa’id bin Jubair, Atha’, Mujahid, Ikrimah, dan sekelompok dari tabi’in rahimahumullah [1].
Banyak ulama menyatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat setelahnya, yaitu surat Al-Baqarah ayat 185.
Namun demikian, di antara ulama yang menyatakan ayat ini mansukh, ada yang menyatakan bahwa bagi wanita hamil atau menyusui tetap fidiah tanpa qodho’, sebagaimana pendapat Qotadah dan Ikrimah rahimahumallah [2].
Adapun maksud petikan ayat ini adalah wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa Ramadhan, apabila mereka tidak berpuasa, untuk menunaikan fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin. Sebagaimana ini tafsir dari pakar tafsir di kalangan sahabat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam menafsirkan petikan ayat di atas,
من لم يطق الصوم إلا على جهد فله أن يفطر، ويطعم كل يوم مسكيناً، والحامل، والمرضع، والشيخ الكبير والذي به سقم دائم
“Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa (Ramadhan) kecuali dengan susah payah, maka dia punya uzur untuk tidak berpuasa, dan dia (berkewajiban) memberi makan seorang miskin untuk setiap hari (yang dia tidak berpuasa padanya). Demikian pula hukumnya (orang-orang yang berat berpuasa seperti) wanita hamil dan menyusui, orang lanjut usia, serta orang yang sakit terus menerus” [3].
Dalam riwayat lainnya yang sanadnya sahih [4], Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat wanita yang hamil atau menyusui lalu berkata,
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لَا يُطِيقُهُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Engkau seperti kedudukan orang yang tidak mampu puasa, maka wajib bagimu untuk memberi makan (fidiah) satu orang miskin untuk satu hari (yang Engkau tidak berpuasa padanya), dan tidak ada qodho’ bagimu”
Dan riwayat sahih, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
رخص للشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا، ويطعما كل يوم مسكينا، ولا قضاء عليهما، ثم نسخ ذلك في هذه الآية: ﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ [البقرة: 185]، وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان الصوم، والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا، وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Diberi keringanan bagi pria dan wanita yang lanjut usia dalam hal itu – sedangkan keduanya mampu puasa – untuk tidak berpuasa jika keduanya mau dan memberi makan (fidiah) satu orang miskin untuk satu hari (yang tidak berpuasa padanya), dan tidak ada kewajiban qodho’ bagi keduanya. Lalu (ketentuan ini) di-mansukh dengan ayat,
﴾ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ﴿,
Dan hukumnya tetap berlaku (yaitu, menunaikan fidiah) bagi pria dan wanita lanjut usia apabila keduanya tidak mampu puasa, serta wanita hamil dan menyusui yang khawatir (terhadap janin atau bayinya), maka keduanya (mendapatkan uzur) tidak berpuasa dan (wajib) memberi makan (fidiah) satu orang miskin untuk satu hari (yang keduanya tidak berpuasa padanya).”
Riwayat lain yang sanadnya sahih, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ
“Apabila wanita hamil mengkhawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkhawatirkan bayinya di bulan Ramadhan.”
يُفْطِرَانِ، وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلَا يَقْضِيَانِ صَوْمًا
“Keduanya (memiliki uzur untuk) tidak puasa dan (wajib) memberi makan untuk setiap hari (yang keduanya tidak berpuasa) kepada satu orang miskin dan keduanya tidak usah meng-qodho’ puasa” [5].
Dalam riwayat sahih dari Ad-Daruquthni, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
الحَامِلُ و المُرْضِعُ تفطر وَلَا تَقْضِي
“Wanita hamil dan menyusui itu (memiliki uzur syar’i) untuk tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban meng-qodho’” [6].
Dalam riwayat lainnya, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata kepada istrinya yang sedang hamil,
أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي
“Berbukalah dan berilah makan (fidiah) untuk setiap hari (yang Engkau tidak berpuasa) kepada satu orang miskin dan Engkau tidak usah meng-qodho’” (HR. Ad-Daruquthni, dengan sanad jayyid) [7].
Apakah tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma memiliki hukum marfu’?
Baca Juga: Membayar Fidyah ke Orang yang Sama
Imam As-Suyuthi rahimahullah dalam Al-Itqon fi ‘Ulumil Qur’an bahwa tafsir seorang sahabat yang terkait dengan sebab diturunkannya Al-Qur’an (sababun nuzul) itu dihukumi dengan hukum khabar yang marfu’. Kaidah ini juga ma’ruf (dikenal) di kalangan ahli hadits.
Sedangkan tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, demikian pula riwayat sahih tafsir yang semisal dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, kedua tafsir ini dihukumi marfu’ karena sababun nuzul [8].
Mana yang didahulukan, seandainya tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bertentangan dengan sahabat lainnya?
Az-Zarkasi rahimahullah berkata dalam Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an,
إن تعارضت أقوال جماعة من الصحابة، فإن أمكن الجمع فذاك، وإن تعذر؛ قُدِّم ابن عباس رضي الله عنهما؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم بشّره بذلك حيث قال: (اللهم علمه التأويل)
“Apabila ucapan sekelompok sahabat saling bertentangan, jika bisa digabungkan, maka digabungkan. Namun jika hal itu tidak memungkinkan, maka didahulukan ucapan (tafsir) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira tentangnya, dengan bersabda, ‘Ya Allah, ajarkanlah kepadanya (Ibnu Abbas) ilmu tafsir.’”
[Bersambung]
Baca Juga:
Catatan kaki:
[1] Al-Istidzkar (https://www.almoslim.net/node/280212) [2] Ath-Thabari (https://www.almoslim.net/node/280212) [3] Ath-Thabari (https://www.almoslim.net/node/280212) [4] Ath-Thabari dan lainnya (https://ferkous.com/home/?q=fatwa-470) [5] https://ferkous.com/home/?q=fatwa-470 [6] Sifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, Syaikh Ali Hasan & Syaikh Salim Al-Hilali, hal : 84 [7] https://ferkous.com/home/?q=fatwa-470 [8] Sifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, Syaikh Ali Hasan & Syaikh Salim Al-Hilali, hal : 83 & 84
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Artikel asli: https://muslim.or.id/63345-wajibkah-fidyah-bagi-wanita-hamil-atau-menyusui-jika-tidak-puasa-ramadhan-bag-2.html